CN235 MPA buatan PT Dirgantara Indonesia (foto: htka.hu) |
Pengguna pesawat patroli maritim memang tidak melulu identik dengan negara-negara bahari. Melihat fungsinya yang beragam, tentunya banyak negara-negara jadi kepincut untuk memilikinya. Ambil contoh, Singapura. Negara kecil di semenanjung Malaka ini dilengkapi dengan armada pesawat Fokker F-50 MPA buatan Belanda. Beberapa waktu lalu pesawat milik angkatan bersenjatanya ini dikirim ke Teluk Aden untuk mendukung upaya internasional memerangi aksi perompakan.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, memiliki pesawat patroli maritim merupakan suatu keharusan. Meski telah memiliki radar pertahanan udara, jumlah yang belum memadai --bahkan jauh dari ideal, tentu saja menjadi kendala dalam menjaga kedaulatan wilayah laut Indonesia. Hal ini membuat pengamanan wilayah laut belum bisa dilakukan secaraa optimal, mengingat terbatasnya jangkauan radar. Jadi tidak salah, jika pengoperasikan pesawat patroli maritim merupakan langkah yang tepat.
Untuk mendukung pengamanan di wilayah perairan Nusantara, TNI Angkatan Udara telah mengoperasikan tiga pesawat Boeing B737 Surveiller. Ketiga pesawat yang dibeli tahun 1981 dari Amerika Serikat tersebut telah memperkuat Skuadron Udara 5 TNI AU di Pangkalan Udara Hasanudin, Makassar.
Selain itu, Indonesia melalui TNI Angkatan Laut juga mengoperasikan pesawat intai N22/N24 Nomad Searchmaster. Beberapa tahun lalu, pesawat intai buatan Australia ini pernah melakukan tugas pengintaian di saat konflik Ambalat sedang hangat-hangatnya.
Buatan PT DI
Bila disimak lebih jauh, wilayah perairan Indonesia yang luas, tentunya tak cukup hanya mengandalkan kedua jenis pesawat tersebut. Apalagi dari segi kuantitas memang belum memadai, sehingga masih membutuhkan tambahan pesawat patroli maritim. Alhasil, selain Boeing B737 Surveiller dan N22/N24 Nomad Searchmaster, TNI AU dan TNI AL juga melengkapi diri dengan pesawat patroli maritim CN235 MPA (Maritime Patrol Aircraft) buatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Pembuatan body pesawat CN235 MPA (foto: antara) |
Selain untuk mengganti pesawat intai N22/N24 Nomad Searchmaster yang sudah uzur, pemakaian CN235 MPA juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan alutsista buatan industri pertahanan dalam negeri.
PT Dirgantara Indonesia yang merupakan satu-satunya produsen pesawat terbang di Indonesia pun tak mau ketinggalan dalam menggarap pesawat patroli maritim. Dengan menggunakan basis pesawat turboprop CN235, PT DI kemudian mengembangkan versi patroli maritimnya. Pesawat CN235 sendiri sebenarnya merupakan pesawat terbang hasil kerja sama fifty-fifty antara CASA Spanyol (sekarang Airbus Military) dengan PT DI. Kedua produsen pesawat terbang ini lalu memilih mengembangkan sendiri CN235 versi patroli maritimnya sehingga pesawat maritim yang dihasilkan juga berbeda-beda. Di Spanyol, CASA mengembangkan CN235 MP Persuader, sedangkan di Indonesia, PT DI mengembangkan CN235 MPA.
Untuk mendukung kegiatan patroli maritim, CN235 MPA dilengkapi dengan Elletronica ALR 733 Radar Warning Receiver, radar Ocean Master 100 buatan Thales (pilihan lain radar Seaspray 4000 dari BAe System), dan perangkat lihat malam (FLIR-Forward Looking Infrared). Dengan FLIR ini, CN235 MPA memiliki penglihatan ekstra sehingga mampu beroperasi pada malam hari. Tak hanya itu, pesawat ini juga membawa Magnetic Anomaly Detector (MPA) yang berfungsi untuk mengetahui lokasi kapal selam. CN235 MPA termasuk jenis pesawat berperforma tinggi. Sama halnya dengan CN235 versi militer, juga mengadopsi kemampuan lepas landas dan mendarat di landasan pendek.
Keunggulan lainnya adalah kemampuan membawa tangki bahan bakar tambahan sehingga memiliki kemampuan terbang patroli lebih lama. Bicara ke soal persenjataan, CN235 MPA mampu mengusung torpedo dan rudal. Berbagai jenis rudal macam Harpoon dan AM39 Exocet mampu dibawa pada keenam cantelan senjata di sayapnya.
Kebanggaan
Di Indonesia, satu unit CN235 MPA sudah dioperasikan oleh TNI AU sejak tahun 2008, sedangkan TNI AL telah memesan tiga unit yang saat ini sedang dalam tahap pengerjaan di hanggar produksi PT DI. Di luar Indonesia, tercatat beberapa negara telah menggunakannya. Salah satunya Korea Selatan yang telah memakai empat unit CN235 MPA senilai 94,5 juta dolar AS untuk dioperasikan oleh Korean Coast Guard (KCG).
Dilihat dari sosoknya, CN235 MPA biasanya memiliki hidung yang besar dan panjang (seperti CN235 MPA milik TNI AU) karena terdapat Radome (Radar Dome) atau kubah radar yang berfungsi sebagai pelindung radar yang ada di hidung pesawat. Tapi ada juga CN235 MPA yang berhidung ”normal” lazimnya pesawat CN235 versi sipil dan angkut militer. Sebagai contoh, CN235 MPA milik KCG. Hal ini bisa terjadi karena CN235 MPA milik TNI AU spesifikasinya agak berbeda dari CN235 MPA milik KCG.
Di tengah banyaknya kendala yang dihadapi, terutama keterbatasan anggaran. Tentunya kita menyambut positif upaya TNI dalam meningkatkan jumlah armada pesawat maritimnya. Pemakaian CN235 MPA bisa diartikan sebagai langkah nyata penggunaan produk dalam negeri untuk mendukung kebutuhan alutsista TNI.
Melihat kondisi bangsa ini, terutama banyaknya pemberitaan tentang buruknya kondisi penegakan hukum dan maraknya kasus korupsi yang terkadang meresahkan publik serta terkadang melunturkan rasa kebanggan kita pada bangsa ini. Ternyata masih ada hal yang bisa dibanggakan dari bangsa ini. Pesawat CN235 MPA bisa menjadi salah satu buktinya.
Melihat kondisi bangsa ini, terutama banyaknya pemberitaan tentang buruknya kondisi penegakan hukum dan maraknya kasus korupsi yang terkadang meresahkan publik serta terkadang melunturkan rasa kebanggan kita pada bangsa ini. Ternyata masih ada hal yang bisa dibanggakan dari bangsa ini. Pesawat CN235 MPA bisa menjadi salah satu buktinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar